Recent Articles

web counter

Rabu, 19 Mei 2010

Materi Amendemen UUD Tuntas 2011

Mendagri: GBHN Harmoniskan Program Pusat-Daerah

[JAKARTA] Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menargetkan, pada 2011 semua usul materi amendemen UUD 1945, termasuk perlu tidaknya menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sudah selesai dibahas. Selanjutnya diharapkan bisa materi amendemen bisa dibahas oleh Badan Pekerja MPR sebelum Pemilu 2014.


Khusus untuk gagasan menghidupkan kembali GBHN, DPD akan membahas dalam forum khusus, yang diawali dengan berbagai diskusi dan seminar tentang bagaimana peran MPR ke depan. Kelompok DPD di MPR sepakat, Indonesia memerlukan arah pedoman pembangunan nasional yang bersifat jangka panjang, yang tak bisa hanya mengandalkan pada visi dan misi presiden terpilih, tetapi merupakan hasil kesepakatan seluruh elemen bangsa sesuai dengan amanat konstitusi.



Demikian diungkapkan Ketua Kelompok DPD di MPR Wahidin Ismail, kepada SP, di Jakarta, Rabu (19/5). Saat ini, lanjutnya, komunikasi secara maraton dengan semua pihak terkait dengan rencana amendemen UUD 1945 dan wacana GBHN, dilakukan secara intensif, melibatkan para pakar dari berbagai bidang dan tokoh-tokoh masyarakat.

“Komunikasi maraton itu tak hanya terkait isu GBHN, tapi semua persoalan terkait bagaimana memperkuat parlemen dengan sistem bikameral (dua kamar) atau trikameral (tiga kamar). Untuk itu, perlu ada amendemen kelima UUD 1945,” ujar Wahidin.
Terkait dengan sistem parlemen, jika menganut bikameral sistem, hanya ada hubungan simetris antara DPR dan DPD. Posisi DPD diperkuat dengan memberikan kewenangan ikut membahas atau mengesahkan UU yang terkait dengan kepentingan daerah.
Sedangkan, jika yang diinginkan sistem trikameral, berarti MPR tetap menjadi bagian terpenting dari sistem demokrasi Indonesia. “MPR akan ditambah kewenangannya yaitu merumuskan acuan pembangunan nasional semacam GBHN di pemerintahan masa lalu,” jelasnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Komite I DPD yang membidangi otonomi daerah, politik, hukum, dan keamanan Farouk Muhammad mengakui, saat ini cukup kuat aspirasi yang muncul dari masyarakat, yang menginginkan GBHN dihidupkan kembali.

“Saya menangkap aspirasi itu sejak 2007. Banyak yang menginginkan GBHN dihidupkan kembali karena hasil evaluasi 12 tahun reformasi, terlihat tujuan pembangunan nasional kurang jelas ke mana arahnya. Ini salah satu yang menjadi dasar keinginan GBHN dihidupkan lagi,” katanya. 


Mantan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini sepakat, gagasan menghidupkan kembali GBHN perlu kajian yang mendalam dan melibatkan semua pihak. Menurutnya, UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai substitusi GBHN bersifat top down. 


“Risikonya, kerap tidak sejalan dengan visi misi gubernur, bupati, dan walikota yang sudah dijanjikan pada rakyat saat kampanye pemilu kepala daerah. Akibatnya, konsep RPJPN sering tak dijalankan oleh pemerintah daerah,” ujar anggota DPD asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.
Harmonisasi Pusat-Daerah


Mewakili unsur pemerintah, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga menilai, GBHN bisa membuat arah pembangunan lebih fokus. Selain itu bisa menjadi jembatan harmonisasi program pembangunan pemerintah pusat dan daerah. 


Namun, dia juga mengingatkan, jika GBHN direalisasikan, berpotensi menghadapi kendala, yakni UU Otonomi Daerah. “Apalagi sebagaimana yang diatur dalam UU Otonomi Daerah, kepala daerah harus menyampaikan visi dan misi dalam waktu tiga bulan setelah terpilih. Belum lagi, menyusun RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Sebab itu, UU Otonomi Daerah juga harus direvisi, diselaraskan dengan aturan tentang GBHN,” katanya.


Sementara itu, pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid menilai, GBHN tetap diperlukan sebagai acuan pembangunan nasional secara komprehensif.
“Penurunan derajat MPR membuat GBHN menjadi tak lagi relevan,” kata pria yang kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.


Menurutnya, amendemen yang memutuskan penurunan derajat MPR dan penghapusan GBHN terkesan diambil terburu-buru, karena ingin mempercepat proses demokratisasi di tengah gelombang reformasi pada 2001. 


“Harga yang harus dibayar dari keputusan tersebut adalah sulitnya mensinkronisasi rencana Presiden dengan rencana yang sama dari tiap-tiap gubernur, bupati atau walikota,” ungkapnya. 


Terkait dengan menguatnya gagasan menghidupkan kembali GBHN, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, JE Sahetapy mengingatkan, perlunya melibatkan DPD. “Ke depan, GBHN harus disusun oleh DPD, DPR, dan pemerintah,” kata professor yang kini menjabat Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) tersebut.


Namun, menurutnya, wacana dihidupkannya kembali GBHN, akan sedikit melelahkan. Sebab, selain terbentur dengan aturan perundangan, juga akan berhadapan dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang belum tentu menyetujuinya.


“Dalam UUD 1945 yang sudah diamendemen, tidak ada aturan mengenai GBHN. Dan ini akan menjadi pertimbangan penting sebelum wacana ini benar-benar direalisasikan,” tegasnya.


Secara terpisah, pakar politik dari Universitas Prof Hazairan Bengkulu, Warsa Sugandi berpendapat, gagasan kembali ke GBHN tidak menyalahi aturan dan tidak bertentangan dengan semangat reformasi.
[J-11/NOV/W-12/143]

0 komentar:

Posting Komentar